MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
kewarganegaraan
NIM : 10811006
JURUSAN
TEKNIK KOMPUTER
FAKULTAS
TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS
KOMPUTER INDONESIA
2012
Puji syukur
penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan karunia kepada saya
dalam menyelesaikan tugas pengganti kuliah ini. Terima kasih juga untuk dosen kewarganegaraan
yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Selanjutnya kepada semua
pihak yang telah membantu secara langsung ataupun tidak dan itu semua tiada
arti bila tidak ada kerja keras . Tugas ini dibuat sebagai salah satu tugas
dalam mata kuliah Kewarganegaraan program D3 Teknik Komputer Universitas
Komputer Bandung.
Disadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saya mengharapkan kritik dan sarannya.
Bandung, 03 Mei 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia mengenal konsep trias
politika, yang terdiri dari legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Sebagai
badan deliberatif pemerintah, di dalam trias politika tersebut tercakup semua
lembaga negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga-lembaga
negara tersebut ialah:
1. Pemerintah
(eksekutif)
2. Mahkamah Agung
(yudikatif)
3. Badan Pemeriksa
Keuangan (yudikatif)
4. Dewan Pertimbangan
Agung (yudikatif)
5. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (legislatif)
6. Dewan Permusyawaratan
Rakyat (legislatif).
Sistem pemerintahan yang dipakai di Indonesia adalah sistem pemerintahan
presidensial yang telah diamandemen. Beberapa pokok yang terkait dengan lembaga
legislatif yakni bahwa presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden juga
berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab terhadap
parlemen. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden.
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejarah munculnya dewan perwakilan rakyat, tidak
terpisahkan dari lahirnya apa yang disebut sebagai Demokrasi tidak langsung
(indirect democrasi). Maksudnya ini berbeda
dengan bentuk demokrasi langsung (direct democrasi) yang pernah dilakukan
dalam police (kota/negara) Yunani kuno
BAB II
ISI/PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Globalisasi
Legislatif berasal dari kata “legislate” yang
berarti lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Anggotanya dianggap
sebagai perwakilan rakyat, karena itulah lembaga legislatif sering dinamakan
sebagai badan atau dewan perwakilan rakyat. Nama lain yang sering dipakai juga
adalah parlemen, kongres, ataupun asembli nasional. Dalam sistem
parlemen, legislatif adalah badan tertinggi yang menujuk eksekutif. Sedangkan dalam sistem presiden, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama,
dan bebas, dari eksekutif. Di negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensil ini, legislatif berfungsi sebagai Penetapan Undang-Undang, yang
terdiri atas MPR dan DPR.
2.2 Jenis Lembaga
Legislatif
Lembaga
legislatif terdiri dari MPR dan DPR.
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Tugas : - Memberikan
masukan dan mengawasi pelaksanaan
- Melantik presiden dan wapres
ANGGOTA DPR DAN DPD
Wewenang Dalam UUD 1945 hanya ada 3 pasal yang berbicara
tentang wewenang MPR. Ketiga
pasal itu adalah:
1. Pasal 3, majelis
permusyawaratan rakyat menetapkan uud dan garis garis besar haluan Negara
2. Pasal 6 ayat (2)
“presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR deengan suara terbanyak” dan
3. Pasal 37, ayat (1)
“untuk mengubah uud sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus
hadir”, dan ayat (2) “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota yang hadir.” 174)
Dari isi ketiga pasal tersebut dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Menurut uud 1945
kekuasaan majelis itu dapat dibagi atas kekuasaan legislatife dan yang bukan merupakan
kekuasaan legislative.
Yang termasuk kekuasaan legislate adalah menetapkan
UUD, dan garis-garis besar haluan Negara.
Sedangkan kekuasaan majelis berdasarkan pasal 37
adalah mengenai perubahan UUD.
Kekuasaan majalis yang bukan merupakan legislative
adalah mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden.
2. Walaupun hanya 3
pasal tersebut mengatur wewenag majelis, tidak berarti bahwa kekuasaan mejelis
terbatas mengenai keempat hal, menetarkan ud, dan garis-garis besar haluan
Negara, memilih presiden dan wakil presiden, serta merobah uud dasar, karena
berdasarkan pasal 1 ayat (2) uud 1945 sesungguhnya kekuasaan majelis itu sangat
luas. Batas kekuasaan majelis itu hanyalah azas-azas yang terdapat dalam uud
1945 kepada majelis berdasarkan pasal 1ayat (2).
2 . Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih
melalui pemilu
Ps 20 (1) DPR berkuasa membentuk UU
Ps 20 (5) jika 30 hari tidak disahkan oleh presiden
maka sah menjadi UU
Ps 20 A (1): DPR punya fungsi legislative, anggaran
dan pengawasan
Ps 20 A (2): DPR punya hak interplasi, angket,
menyatakan pendapat
Ps20 A (3): DPR punya hak mengajukan pertanyan,
usul dan pendapat serta hak imunitas.
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT MEMPUNYAI WEWENANG YAKNI:
1. Hak bertanya
2. Hak interpelasi
3. Hak angket
4. Hak inisiatif
5. Hak budget
6. Hak amandemen
Dengan adanya wewenang dpr seperti tersebut yang di atas, maka sepanjang
tahun dapat terjadi musyawarah yang teratur antara pemerintah dengan dewan dpr.
Dan dpr mempunyai kebijaksanaan dan politik pemeritah.
2.3 Model Lembaga Legislatif
A. Sistem dua kamar
atau dua majelis (bicameral system)
Lembaga perwakilan dibentuk sebagai lembaga untuk
mewakili kepentingan khususnya negara-negara bagian. Contohnya negara federal
Amerika Serikat, Australia, dan India. Dalam negara kesatuan, sistem dua majelis biasanya lebih terdorong oleh pertimbangan bahwa satu
majelis dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan majelis lainnnya.
Biasanya, dua majelis terdiri dari badan perwakilan
rakyat yang dikenal sebagai majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi
(higher house). Keanggotaan badan majelis tinggi bermacam-macam, mulai dari
turun-temurun, ditunjuk (di Inggris), ataupun dipilih (AS, India, Filipina),
sedangkan majelis rendah dipilih melalui pemilu atau partai politik. Karena itu
meskipun disebut sebagai majelis rendah, mereka mempunyai wewenang yang lebih
tinggi daripada majelis tinggi.
2.4 Fungsi Badan Legislatif
1. Fungsi legislatif
Yaitu wewenang badan
legislatif untuk menentukan kebijakan dan membuat undang undang disertai dengan
hak hak tertentu yang dimilikinya, seperti hak inisiatif, hak amandemen dan hak
budget
2. Fungsi kontrol
Fungsi ini bertujuan untuk
menjaga tindakan pemerintah atau badan eksekutif sesuai dengan kebijakan dan
perundang undangan yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan fungsi kontrol ini,
badan legislatif mempunyai beberapa hak tertentu lainya; hak untuk mengajukan
pertayaan, hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah
mengenai kebijaksanaannya didalam suatu bidang, hak angket yaitu hak bagi
anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan mengenai suatu masalah
dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah, hak mosi yaitu hak untuk
mengajukan sikap tidak percaya kepada pemerintah yang dalam sistem parlementer
dapat berujung pada pengunduran diri kabinet atau terjadi krisis kabinet (hak
mosi tidak dikenal dalam sistem presidensial .
3. Fungsi anggaran
Yaitu badan legisltif
bersama sama dengan pemerintah (eksekutif) dalam menyusun dan mengesahkan
anggaran negara.
2.5 Hak Badan Legislatif
Hak Bertanya
Hak ini dipakai badan
legislatif untuk mengkontrol kegiatan eksekutif, badan legislatif dapat
bertanya kepada eksekutif mengenai suatu hal atau kebijakan yang diambil oleh
eksekutif.
2 Hak Interpelasi
Hak ini digunakan dalam
meminta keterangan kepada eksekutif mengenai kebijakan suatu bidang. Dalam hal
ini badan eksekutif wajib memberikan penjelasan pada saat sidang Pleno di DPR.
Jika tidak ditemukan forum setelah eksekutif memberikan penjelasan, maka akan
dilakukan pemungutan suara.
Dalam hak ini mungkin terjadi perselisihan antara
DPR dan pemerintah, maka selanjutnya penggunaan hak interpelasi ini dapat
menuju ke tindakan ”mosi tidak percaya”
3 Hak Angket
Adalah wewenang anggota
badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk keperluan
tersebut, maka biasanya suatu panitia angket dibentuk oleh DPR yang dalam
menjalankan tugasnya akan melaporkan hasilnya kepada badan legislatif, yang
selanjutnya menjadi acuan perumusan pendapat DPR mengenai hal yang telah
diselidiki, dengan harapan pemerintah memperhatikan pendapat DPR tersebut.
2.6 Badan Legislatif Indonesia
Perkembangan
Pada masa sebelum kemerdekaan lembaga legislatif pertama adalah Vilkskraad
(1918) bentukan Belanda. Ketika kemerdekaan direbut Indonesia dibentuklah
Komiti Nasional Indonesia (1945-1949). Pada tahun 1949-1950 KNI berubah menjadi
Dewan Perwakilan Rakyat dan terdapat juga Senat Republik Indonesia Serikat.
Dilanjutkan dengan DPR Sementara (1950-1956). Kemudian dari hasil PEMILU 1955
terbentuklah DPR yang bertugas 1056-1959. Pada masa transisi terbentuk DPR
Peralihan (1959-1960). Pada tahun 1960 dibentuk DPR Gotong Royong dalam
demokrasi terpimpin (Orde Lama), yang bertugas sampai tahun 1966. Pada
1966-1971 di dalam masa Demokrasi Pancasila (Orde Baru) yang berfungsi sebagai
lembaga legislatif adalah DPR Gotong Royong. Dimulai sejak tahun 1971 ketika
Orde Baru berkuasa, diadakan PEMILU setiap 5 tahunan yang manghasilkan DPR
hingga pada tahun 1997, namun 1999 terjadi Era Reformasi dan membentuk DPR
baru.
Legislatif dalam pembuatan
undang undang.
Indonesia tidak menganut asal trias politica murni, sehingga yang digunakan
adalah pembagian kekuasaan. Artinya, dalam pembuatan undang undang, badan
legislatif bekerjasama dengan badan eksekutif. Bukan hanya lembaga
legislatif, badan eksekutif juga dapat mengajukan rancangan undang undang.
Meskipun RUU sudah disetujui oleh DPR, RUU tersebut belum dapat di sahkan atau
berlaku apabila belum disetujui oleh Presiden. Demikian juga rancangan ndang
undang yang diajukan oleh badan eksekutif, jika tidak disetjui oleh DPR, maka
tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan DPR di masa itu.
Karena itu, dalam menjalankan fungsi legislasi ini, baik DPR maupun
eksekutif atau presiden, harus memiliki kerjasama yang serasi sehingga dapat
tercipta hubungan yang saling menguntungkan dan seimbang.
Badan legislatif di Indonesia atau
representatives bodies adalah struktur politik yang mewakili rakyat Indonesia
dalam menyusun undang-undang serta melakukan pengawasan atas implementasi
undang-undang oleh badan eksekutif di mana para anggotanya dipilih melalui
Pemilihan Umum. Struktur-struktur politik yang termasuk ke dalam kategori ini
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I
dan Tingkat II, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Selain
badan legislatif, di Indonesia juga terdapat dua badan trias politika lainnya
yaitu badan eksekutif dan badan yudikatif.
Melalui UUD
1945, dapat diketahui bahwa struktur legislatif yang ada di Indonesia terdiri
atas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat RI,
DPRD I, DPRD II), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Berapa Kamarkah Legislatif Indonesia?
Badan-badan
legislatif Indonesia memiliki fungsi dan wilayah kewenangan yang berbeda-beda.
Sebab itu, Jimly Asshiddiqie menyebut Indonesia setelah Amandemen ke-4 UUD 1945
menerapkan sistem Trikameral (sistem tiga kamar) dalam lembaga perwakilan
rakyat. Sebagai pembanding, dapat dilihat sistem ketatanegaraan Amerika Serikat
yang bikameral (dua kamar). Di negara tersebut kekuasaan legislatif ada di
tangan Kongres yang terdiri atas dua kamar yaitu The House of Representatives
dan Senates.
Kongres
terdiri atas The House of Representatives dan Senates. Anggota The House of
Representatives terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota Senates
terdiri atas wakil-wakil negara bagian. Kongres tidak berdiri sebagai badan
tersendiri oleh sebab ia hanya ada berkat gabungan antara anggota The House of
Representatives dan Senates. Sementara di Indonesia, ada tiga lembaga
perwakilan yang diakui konstitusi, yaitu MPR, DPR (termasuk DPRD I dan II di
tingkat daerah), dan DPD.
Tugas dan
wewenang MPR digariskan oleh Pasal 2 UUD 1945 yang meliputi tiga hal yaitu: (1)
Mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar; (2) Melantik Presiden dan Wakil
Presiden; dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan
menurut Undang-undang Dasar.
Anggota MPR
tidak dipilih secara per se karena anggota MPR adalah kolektivitas dari seluruh
anggota DPR-RI ditambah seluruh anggota DPD. Hanya anggota DPR-RI dan DPD saja
yang dipilih rakyat secara langsung. MPR merupakan struktur legislatif yang
cuma berkedudukan di tingkat pusat. MPR bersidang sedikitnya 5 (lima) tahun
sekali dan setiap keputusannya diambil dengan suara terbanyak.
MPR
Indonesia sesungguhnya dirancang ke aras dua kamar tersebut (DPR dan DPD).
Namun, melalui amandemen terakhir UUD 1945, MPR tetap menjadi badan tersendiri
yang diatur konstitusi. Argumentasi Trikameral ini sebagai berikut:
1.
Keberadaan Utusan Golongan telah dihapuskan sehingga prinsip keterwakilan
fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada lagi. Sebab
itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip keterwakilan
politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip keterwakilan daerah
(regional representation).
2.
MPR tidak lagi berfungsi selaku supreme body yang punya kewenangan
tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi: (1) menetapkan UUD
dan mengubah UUD; (2) menetapkan GBHN; (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden;
(4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden; (5) memberhentikan
Presiden dan atau Wakil Presiden. Kini fungsi tersebut telah susut menjadi
hanya: (1) menetapkan UUD dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan
Wakil Presiden, dan (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan
(4) menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya
Presiden dan atau Wakil Presiden.
3.
Amandemen UUD 1945 menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada
di tangan DPR (bukan MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut separation
of power (pemisahan kekuasaan).
4.
Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung,
MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil Presiden tidak
lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada rakyat.
Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya, menurut ketentuan
Pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat
(2) menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya
60 (enam puluh) hari MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari 2 (dua)
calon yang diusulkan Presiden.
Mengenai
kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat muncul pemikiran
bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu berbentuk badan
tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan yang
dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sesungguhnya hanya
punya tiga fungsi, yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik
Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil
Presiden dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan
terpenuhinya mekanisme lain yang tidak mudah di dalam UUD 1945).
Fungsi MPR yang pertama dan
ketiga bukanlah fungsi yang rutin dilakukan (jarang). Fungsi melantik Presiden
dan Wakil Presiden pun sekadar seremonial, karena MPR sekadar melakukan
upacara. Perlu diingat, yang memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi
MPR, tetapi rakyat secara langsung. Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat
jalannya pelantikan dengan kuorum kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara
yang setuju/tidak setuju pelantikan tersebut.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini
adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga
1949. Saat itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD
1945 sebagai konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif
bernama MPR. Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa sebelum MPR,
DPR dan DPA dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden
dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Tanggal 29
Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat yang saat itu
merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka
masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota PPKI. Susunan
pimpinan KNIP ini adalah: Mr. Kasman Singodimedjo (ketua); Mr. Sutardjo
Kartohadikusuma (wakil); Mr. J. Latuharhary (wakil); dan Adam Malik (wakil).
KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil Presiden
Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah
diserahinya tugas-tugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan Negara
kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada.
Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi
konstitusi berbeda: Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS)
dan UUD Sementara 1950 (UUDs 1950). Di dalam kedua versi konstitusi tersebut,
lembaga bernama MPR tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia
menyelenggarakan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini,
rakyat secara langsung memilih anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun
undang-undang dasar).
Setelah
terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD permanen. Namun, di dalam
Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang berujung pada ditemuinya
deadlock. Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno) segera mengeluarkan Dekrit
tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah: (1) Pembubaran Konstituante;
(2) Berlakunya kembali UUD 1945; dan (3) Pembatalan UUDS 1950 serta pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara (MPRs) serta Dewan Pertimbangan Agung
sementara (DPAs). Upaya Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian
pendirian struktur-struktur politik yang memang digariskan dalam UUD 1945.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
(Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
itu. Isi dari Penpres tersebut adalah:
·
MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah
dan golongan;
·
Jumlah anggota MPR ditetapkan Presiden;
·
Yang dimaksud daerah dan golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I (setara
provinsi) dan Golongan Karya (fungsional);
·
Anggota tambahan MPRs diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut agama
di hadapat Presiden atau Ketua MPRs yang dikuasakan oleh Presiden; dan
·
MPRs punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.
Jumlah anggota MPRs yang dibentuk kemudian, didasarkan pada Keputusan Presiden
Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri dari 257 Anggota
DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Susunannya sebagai
berikut: Chairul Saleh (ketua); Mr. Ali Sastroamidjojo (wakil); K.H. Idham
Chalid (wakil); Dipa Nusantara Aidit (wakil); dan Kolonel Wilujo Puspojudo
(wakil).
Dalam
kelanjutannya, MPRs ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan
10 Nopember–7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan berikut: (1)
Ketetapan MPRs Nomor I/MPRs/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia
sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor
II/MPRs/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.
Sidang
kedua yang diadakan MPRs berlangsung tanggal 15–22 Mei 1963. Dalam sidang kedua
ini dicapat dua ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor III/MPRs/1963
tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi
Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor
IV/MPRs/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan
Negara dan Haluan Pembangunan.
Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi
pada tanggal 11–16 April 1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan
berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor V/MPRs/1965 tentang Amanat Politik
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas
Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi
Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan
Program Perjuangan Rakyat Indonesia; (2) Ketetapan MPRs Nomor VI/MPRs/1965
tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
(3) Ketetapan MPRs Nomor VII/MPRs/1965 tentang Gesuri, TAVIP (Tahun Vivere
Pericoloso), The Fifth Freedom is Our Weapon dan The Era of Confrontation
sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan;
(4) Ketetapan MPRs Nomor VIII/MPRs/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi
Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.
Pada
periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak lagi menjabat
presiden, terbentuklah susunan pimpinan MPRs sebagai berikut: Dr. Abdul Haris
Nasution (ketua); Osa Maliki (wakil); H.M. Subhan Z.E. (wakil); M. Siregar
(wakil); dan Mashudi (wakil). Struktur baru MPRs ini mengadakan Sidang Umum
keempat MPRs di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni – 5 Juli 1966. Sidang
umum ini menghasilkan banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah dua puluh
empat. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRs untuk
mendengar Pidato bertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang
dikenal sebagai Nawaksara.
MPRs tidak
puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan Presiden Sukarno lalu
melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan suratnya berjudul Pelengkap
Nawaksara Namun, tetap saja ini tidak memuaskan MPRs. MPRs sebab itu mengambil
kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi kewajiban konstitusional.
Di sisi
lain, DPR-gr mengusulkan pada MPRs untuk mengadakan kembali Sidang Istimewa
untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Pejabat
Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRs No. IX/MPRs/1966, serta
memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan
penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR tanggal 7 hingga
12 Maret 1967.
Pada tahun 1971, Indonesia mengadakan
Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan pimpinan MPR
(tidak pakai kata sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini didasarkan pada
Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut UU
tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi lima fraksi
berikut: (1) Fraksi ABRI 230 orang; (2) Fraksi Karya Pembangunan 392
orang; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 42 orang; (4) Fraksi Persatuan
Pembangunan 126 orang; dan (5) Fraksi Utusan Daerah 130 orang.
Pola MPR
sejak tahun 1971 cenderung konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998.
Posisi MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti
mengangkat Suharto sebagai presiden, menerima pidato pertanggungjawaban
Suharto, dan menetapkan GBHN yang draft-nya sudah ditentukan oleh pemerintah.
Kondisi ini sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998.
Pasca 1998,
MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang terjadi di Indonesia.
Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang dihasilkan antar
periode Pemilu. Dalam periode 1999 – 2004, jumlah Fraksi yang ada di MPR
terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada adalah: (1)
Fraksi Partai Bulan Bintang berkekuatan 14 orang; (2) Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan berkekuatan 305 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Kasih
Bangsa berkekuatan 5 orang; (4) Fraksi Partai Daulah Ummat berkekuatan 8 orang;
(5) Fraksi Partai Golongan Karya berkekuatan 297 orang; (6) Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa berkekuatan 109 orang; (7) Fraksi PPP berkekkuatan 123 orang; (8) Fraksi
Reformasi berkekuatan 46 orang; (9) Fraksi TNI/Polri berkekuatan 96 orang; dan
(10) nonFraksi 1 orang yaitu Dr. Drs. Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc.
Pasca
pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 8 Fraksi dan 1
Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi
Partai Golongan Karya, di mana PKPB dan PBR juga bergabung ke sini; (2) Fraksi
Demokrasi Indonesia Perjuangan, di mana juga PDS bergabung ke sini; (3) Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan; (4) Fraksi Partai Demokrat, di mana terdiri atas
gabungan 5 parpol dengan 20 kursi; (5) Fraksi Partai Amanat Nasional; (6)
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; (7) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; (8)
Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi, di mana merupakan gabungan PBB, PP,
PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI; dan (9) Kelompok Dewan Perwakilan Daerah
dengan kekuatan 132 orang.
Pasca
Pemilu 2009, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 9 fraksi dan 1
kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi
Demokrat dengan kekuatan 148 orang; (2) Fraksi Golongan Karya dengan kekuatan
106 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan kekuatan 94
orang; (4) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan kekuatan 57 orang; (5)
Fraksi Partai Amanat Nasional dengan kekuatan 46 orang; (6) Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan dengan kekuatan 38 orang; (7) Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa dengan kekuatan 28 orang; (8) Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya
dengan kekuatan 26 orang; (9) Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat dengan kekuatan
17 orang; dan (10) Fraksi Kelompok Dewan Perwakilan Daerah dengan kekuatan 132
orang.
Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (seterusnya disingkat
DPR) adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenangan membentuk
undang-undang. Dalam membentuk undang-undang tersebut, DPR harus melakukan
pembahasan serta persetujuan bersama Presiden. Fungsi-fungsi yang melekat pada
DPR adalah: (1) fungsi anggaran; (2) fungsi legislasi; dan (3) fungsi
pengawasan. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, setiap anggota DPR
memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan
pertanyaan, hak menyampaikan usul, dan hak imunitas.
Anggota DPR seluruhnya dipilih lewat pemilihan umum
dan setiap calonnya berasal dari partai-partai politik. Secara substansial,
struktur dan fungsi DPRD I serta DPRD II adalah sama dengan DPR pusat. Hanya
saja, lingkup kewenangan DPRD I adalah di tingkat Provinsi sementara DPRD II di
tingkat Kabupaten atau Kota.
DPR
merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan politik (political
representative) karena --- menurut Jimly Asshiddiqie –-- fungsi legislatif
berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil partai politik.
Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik. Melalui lembaga ini,
masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam tata kelola
negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu bergantung pada
kualitas anggota dewan yang dimiliki.
Dalam skema
sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di setiap lini: (1) Dalam
lini input, DPR merespon kepentingan masyarakat melakukan mekanisme pengaduan
harian; (2) Dalam lini konversi DPR bersama pemerintah bernegosiasi bagaimana
kepentingan masyarakat diakomodir; dan (3) Dalam lini output DPR mengeluarkan
Undang-undang yang merupakan kebijakan negara yang harus dijalankan lembaga
kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah merinci aneka fungsi yang dimaksud
skema sistem politik Easton. Dalam konteks pemikiran Almond, maka DPR adalah
struktur yang menjalankan fungsi-fungsi input (agregasi kepentingan, komunikasi
politik) dan fungsi output yaitu legislasi. Dalam kekuasaannya sebagai
legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD. Harus ada kerjasama
harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan legislatif tetap ada di
tangan DPR.
Berdasar
Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi atau legislator,
bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang oleh DPR ini,
UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut:
·
DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD;
·
Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah
mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi
Undang-undang;
·
Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang wajib
diundangkan sebagaimana mestinya;
·
Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR;
·
Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan
dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif DPR itu
(seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR dalam tahun
sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang;
·
Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun menolak
(sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima atau
menolak RUU yang diajukan Presiden itu;
·
Jika suatu RUU telah disetujui
dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara
substantif ataupun materiil RUU tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR
itu belum mengikat secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta
diundangkan sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi
mengubah materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah;
·
Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum
mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan
cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari
sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna
DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).
DPR
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi
legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Fungsi
anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama
Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya pemberlakuan suatu
undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan Presiden.
Untuk
melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak. Hak-hak tersebut
dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku Perseorangan. Hak
DPR selaku Lembaga meliputi:
i.
hak interpelasi;
ii.
hak angket;
iii.
hak menyatakan pendapat;
iv.
hak mengajukan pertanyaan;
v.
hak menyampaikan usul dan pendapat
vi.
hak imunitas.
Hak
Interpelasi diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu sebagai lembaga DPR berhak
meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk menyelidiki kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga,
untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai:
·
kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau situasi dunia internasional;
·
tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; dan
·
dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau
Wapres.
Selain itu,
Hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan RUU; (2) Hak mengajukan
pertanyaan; (3) Hak menyampaikan usul dan pendapat; (4) Hak memilih dan
dipilih; (5) Hak membela diri; (6) Hak imunitas; (7) Hak protokoler; dan, (8)
Hak keuangan dan administratif. Keterangannya adalah sebagai berikut:
1. Hak mengajukan rancangan
undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan Rancangan
Undang-undang.
2. Hak mengajukan pertanyaan adalah hak
setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden yang disusun
baik secara lisan/tulisan, singkat, jelas, dan disampaikan kepada pimpinan DPR.
3. Hak menyampaikan usul dan pendapat
adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai
suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam
rapat.
4. Hak memilih dan dipilih adalah hak
setiap anggota DPR untuk menduduki jabata tertentu pada alat kelengkapan DPR
sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
5. Hak membela diri adalah hak setiap
anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan atau memberi keterangan kepada
Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
6. Hak imunitas adalah hak setiap
anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis
dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib
DPR dan Kode Etik anggota dewan.
7. Hak protokoler adalah hak setiap
anggota DPR bersama Pimpinan DPR sesuai ketentuan perundang-undangan.
8. Hak keuangan dan administratif
adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan,
dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat. Sebagai
ilustrasi hak ini, menurut Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPRRI/XII/2010
tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, penerimaan keuangan anggota DPR
terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) Gaji Pokok dan Tunjangan, dan (2)
Penerimaan Lain-lain. Misalnya, bagi anggota DPR yang hanya merangkap menjadi
anggota Komisi, maka jumlah gaji pokok dan tunjangan bersih sebulannya adalah
Rp. 16.207.200. Penghasilan ini ditambah Penerimaan Lain-lain yang total
sebulannya mencapai Rp. 35.360.000. Sehingga take home pay seorang anggota DPR
yang hanya merangkap menjadi anggota Komisi adalah Rp. 16.207.200 + Rp.
35.360.000 = Rp. 51.567.200 (telah dipotong pajak). Penghasilan bulanan yang
cukup besar ini merupakan bentuk penghargaan rakyat Indonesia kepada para wakil
rakyat karena telah bersusah payah memikirkan dan mengurus segala kepentingan rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Selain punya hak, anggota DPR juga punya kewajiban yang harus ia penuhi selama
masa jabatannya (5 tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah: (1) Mengamalkan
Pancasila; (2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; (3) Melaksanakan
kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; (4) Mempertahankan dan
memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
(5) memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; (6) Menyerap,
menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; (7)
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan; (8) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
pemilih dan daerah pemilihannya; (9) Menaati kode etik dan Peraturan Tata
Tertib DPR; dan (10) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
lembaga yang terkait.
Di DPR,
para anggota dewan tergabung ke dalam fraksi-fraksi. Fraksi adalah
pengelompokan anggota dewan berdasarkan konfigurasi partai politik hasil
Pemilihan Umum. Fraksi ini bersifat mandiri serta terbentuk dalam rangka
optimalisasi dan pengefektivitasan pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan
kewajiban DPR. Fraksi mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi
dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik
hasil Pemilihan Umum yang kurang dari 13 orang atau dapat bergabung dengan
Fraksi lain. Setiap anggota dewan harus menjadi anggota
salah satu Fraksi. Pimpinan Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya
masing-masing.
Tugas utama
fraksi adalah mengkoordinasi kegiatan anggota dalam melaksanakan tugas dan
wewenang mereka selaku anggota dewan. Fraksi juga bertugas meningkatkan
kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam
melaksanakan tugas, dan tugas ini tercermin dalam setiap kegiatan DPR. DPR juga
menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Untuk
melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat Kelengkapan DPR yang
terdiri atas: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3) Komisi; (4) Badan
Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah Tangga; (7) Badan Kerja
Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9) Panitia Khusus.
Pimpinan DPR
Pimpinan DPR merupakan kesatuan pimpinan yang
sifatnya kolektif. Pimpinan DPR terdiri atas satu Ketua dan tiga Wakil Ketua
yang dipilih dari dan oleh anggota dewan dalam Rapat Paripurna. Calon Ketua dan
Wakil Ketua diusulkan oleh setiap fraksi kepada Pimpinan Sementara secara
tertulis berupa satu paket calon Pimpinan yang terdiri atas satu orang calon
Ketua dan tiga orang calon Wakil Ketua dari Fraksi yang berbeda untuk
ditetapkan sebagai calon Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna.
Setelah
terpilih, maka Pimpinan DPR bertugas antara lain: (1) Memimpin sidang-sidang
dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; (2) Menyusun rencana
kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua; (3) Menjadi
juru bicara DPR; (4) Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; (4)
Melaksanakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya
sesuai dengan keputusan DPR; (5) Mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di
pengadilan; (6) Melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi
atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
serta menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPR; dan
(6) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Rapat Paripurna DPR.
Badan Musyawarah
Badan Musyawarah (selanjutnya
disingkat Bamus) merupakan alat kelengkapan yang bersifat tetap. Keanggotaan
Bamus ditetapkan DPR lewat Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR.
Jumlah Anggota Bamus sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari jumlah Anggota yang
ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap Fraksi. Tugas Bamus antara lain:
1.
menetapkan acara DPR untuk 1 Tahun Sidang, 1 Masa Persidangan, atau
sebagian dari suatu Masa Sidang, dan perkiraan waktu penyelesaian suatu
masalah, serta jangka waktu penyelesaian Rancangan Undang-Undang, dengan tidak
mengurangi hak Rapat Paripurna untuk mengubahnya;
2.
meminta dan/atau memberikan kesempatan alat kelengkapan DPR yang lain untuk
memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal
3.
yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan; dan
4.
menentukan penanganan suatu Rancangan undang-Undang atau pelaksanaaan tugas
DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR.
Komisi
Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan DPR
dalam Rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota
tiap-tiap Fraksi. Penetapan ini dilakukan pada permulaan masa keanggotaan DPR
dan pada permulaan Tahun Sidang.
Setiap Anggota – kecuali Pimpinan MPR dan DPR – harus menjadi anggota salah
satu komisi. Jumlah Komisi, Pasangan Kerja Komisi dan Ruang Lingkup Tugas
Komisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi
pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga non-kementerian, dan
sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.
Tugas
Komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan,
pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang
lingkup tugasnya. Tugas Komisi di bidang anggaran adalah: (1) mengadakan
Pembicaraan Pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan
Pemerintah; dan (2) mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang
lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah.
Tugas komisi di bidang pengawasan antara lain: (1) melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan
pelaksanaannya; (2) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya; (3) melakukan
pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan (4) membahas dan menindklanjuti
usulan DPD.
Komisi
dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: (1)
mengadakan Rapat kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; dan
(2) mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili
intansinya, mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, mengadakan kunjungan kerja
dalam masa reses.
Badan Legislasi
Susunan keanggotaan Badan Legislasi
(selanjutnya disebut Baleg) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna
berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.
Tugas Baleg antara lain: (1) merencanakan dan menyusun program Legislasi
Nasional yang memuat daftar urutan Rancangan Undang-Undang untuk satu masa
keanggotaan dan prioritas setiap Tahun Anggaran; (2) menyiapkan Rancangan
Undang-Undang usul inisiatif DPR berdasarkan program prioritas yang telah
ditetapkan; (3) melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang diajukan Anggota, Komisi, atau Gabungan Komisi
sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan Dewan, dan
(4) membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa
keanggotaan DPR untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Badan Legislasi
pada masa keanggotaan berikutnya. Badan Legislasi dalam melaksanakan tugasnya
dapat mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan pihak Pemerintah, DPD,
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) atau pihak lain yang dianggap
perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui Pimpinan DPR.
Panitia Anggaran
Susunan keanggotaan Panitia Anggaran ditetapkan
oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan Tahun Sidang. Anggota Panitia Anggaran terdiri atas anggota-anggota
seluruh unsur Komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan
dari Fraksi.
Panitia
Anggaran bertugas melaksanakan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Panitia Anggaran dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan hal-hal
berikut: (1) mengadakan Rapat Kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh
Menteri; (2) mengadakan Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum,
baik atas permintaan Panitia Anggaran maupun atas permintaan pihak lain; dan
(3) mengadakan konsultasi dengan DPD.
Badan Urusan Rumah Tangga
Susunan keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga
(selanjutnya disebut BURT) ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa
keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang.
Tugas BURT
adalah antara lain: (1) membantu Pimpinan DPR dalam menentukan kebijaksanaan
kerumahtanggaan DPR, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat
Jenderal; (2) membantu Pimpinan DPR dalam melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh sekretariat Jenderal; dan
(3) membantu Pimpinan DPR dalam merencanakan dan menyusun Anggaran DPR dan
Anggaran Sekretariat Jenderal.
BURT dapat
meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada sekretariat jenderal. BURT
memberikan laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun sidang
kepada Pimpinan DPR. Dalam melaksanakan tugasnya BURT bertanggung jawab kepada
Pimpinan DPR.
Badan Kerja Sama antar Parlemen
Susunan keanggotaan Badan Kerja Sama antar
Parlemen (selanjutnya disebut BKSAP) ditetapkan oleh DPR menurut perimbangan
dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan
DPR dan pada permulaan Tahun Sidang ketiga. Susunan keanggotaan BKSAP
ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota
tiap-tiap Fraksi.
Tugas BKSAP antara lain: (1) membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan
persahabatan dan kerja sama antara DPR dengan parlemen negara lain, baik secara
bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang
menghimpun parlemen-parlemen dan/atau anggota-anggota parlemen; (2)
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi
parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR; (3) mengadakan evaluasi dan
mengembangkan tindak lanjut dari hasil pelaksanaan tugas BKSAP, terutama hasil
kunjungan delegasi DPR ke luar negeri; dan (4) memberikan saran atau usul
kepada Pimpinan DPR tentang masalah kerjasama antar parlemen.
BKSAP dalam
melaksanakan tugasnya dapat mengadakan konsultasi dengan pihak yang dipandang
perlu mengenai hal yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Selain itu,
BKSAP juga dapat mengadakan hubungan dengan parlemen negara lain dan organisasi
internasional atas penugasan atau persetujuan Pimpinan DPR.
Badan
Kehormatan. Susunan keanggotaan Badan Kehormatan (selanjutnya disebut BK)
ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan
jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan Tahun Sidang ketiga. Anggota BK berjumlah 13 (tiga belas) orang.
Tugas BK antara lain:
1.
Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi dan menyampaikan
keputusan tersebut kepada Pimpinan DPR.
2.
Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota
karena: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai Anggota; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon Anggota
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; melanggar
sumpah/janji, Kode Etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota;
atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam
ketentuan perundang-undangan;
3.
BK mempunyai wewenang untuk memanggil anggota dewan yang bersangkutan untuk
memberikan pernjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang
dilakukan.
Selain itu, BK juga dapat memanggil pelapor,
saksi, atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk
untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Setelah Badan Kehormatan melakukan
penelitian dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti serta
sanksi-sanksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan sanksi berupa:
1.
Teguran tertulis yang disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Anggota yang
bersangkutan;
2.
Pemberhentian dari Jabatan Pimpinan DPR atau Pimpinan Alat Kelengkapan DPR
yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dibacakan dalam rapat Paripurna;
3.
Pemberhentian sebagai Anggota oleh Pimpinan DPR disampaikan oleh Pimpinan
DPR kepada anggota yang bersangkutan; dan
4.
Badan Kehormatan dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila Anggota
yang diadukan terbukti tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan Kode
Etik yang diumumkan dalam rapat Paripurna dan dibagikan kepada seluruh Anggota.
Panitia Khusus
Apabila memandang perlu, DPR dapat membentuk
Panitia Khusus (selanjutnya disebut Pansus) yang bersifat sementara. Komposisi
keaggotaan Pansus ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan
jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi. Jumlah Anggota Pansus ditetapkan oleh Rapat
Paripurna sekurang-kurangnya 10 orang dan sebanyak-banyaknya 50 orang.
Pansus
bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang
ditetapkan oleh Rapat Paripurna. Pansus bertanggung jawab kepada DPR. Pansus
otomatis dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau
karena tugasnya dinyatakan selesasi. Rapat Paripurna menetapkan tindak lanjut
hasil kerja Pansus.
Panitia Kerja
Panitia
yang dibentuk oleh Alat Kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja (selanjutnya
disebut Panja) atau tim yang berjumlah sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota
alat kelengkapan yang bersangkutan, kecuali Tim yang dibentuk oleh Pimpinan DPR
disesuaikan dengan kebutuhan.
Panja atau
Tim bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang
ditetapkan oleh Alat Kelengkapan DPR yang membentuknya. Panja atau Tim
dibubarkan oleh Alat Kelengkapan DPR yang membentuknya setelah jangka waktu
penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. Tindak lanjut
hasil kerja Panitia Kerja atau Tim ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang
membentuknya.
Proses Pembuatan Undang-undang
DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang
(selanjutnya disebut RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
DPD dapat
mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada dua RUU yang diajukan
mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari
DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan. RUU yang sudah disetujui bersama
antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 hari kerja disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila
setelah 15 hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum
disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden
untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah
disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30
hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan.
RUU dari Presiden
RUU beserta penjelasan, keterangan, atau naskah
akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang juga menyebutkan Menteri yang mewakili
Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.
Dalam Rapat
Paripurna berikutnya – setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR – Pimpinan DPR
memberitahu anggota dewan soal masuknya RUU dari presiden. Pimpinan DPR lalu
membagikan RUU tersebut kepada seluruh anggota dewan. Namun, jika RUU tersebut
berkait dengan dengan bidang yang diawasi DPD, maka RUU disampaikan kepada
Pimpinan DPD.Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian
RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang
mewakili Presiden.
RUU dari DPD
RUU
beserta penjelasan, keterangan, dan naskah akademis yang berasal dari DPD
disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR. Setelah RUU
dari DPD diterima, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota dewan dalam Rapat
Paripurna berikutnya. RUU juga dibagikan kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR
lalu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal
pengumuman RUU telah dilakukan kepada anggota dewan dalam Rapat Paripurna.
Bamus
selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, serta
mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi
atau Baleg mengundang anggota Alat Kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU. Hasil
pembahasan RUU tersebut harus dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
Selanjutnya,
RUU yang telah dibahas lalu disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden, yaitu
agar Presiden menunjuk menteri yang mewakili Presiden guna membahas RUU
tersebut bersama DPR dan juga kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas.
Dalam waktu
60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat penyampaian RUU dari DPR, Presiden
menunjuk Menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama
DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR.
DPRD Propinsi
Pada prinsipnya, posisi DPRD Provinsi sama
dengan DPR, tetapi diarahkan ke pembuatan perundang-undangan di tingkat
Provinsi. Eksekutif mitra kerjanya adalah Gubernur. Fungsi DPRD Provinsi adalah
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sementara itu, tugas dan wewenang DPRD
Provinsi adalah sebagai berikut:
1.
membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat
persetujuan bersama;
2.
menetapkan APBD bersama dengan gubernur;
3.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah
daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama
internasional di daerah;
4.
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
5.
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi
terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
dan
6. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam
pelaksanaan tugas desentralisasi.
Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD Provinsi memiliki hak yang sama dengan
DPR, baik selaku lembaga maupun perseorangan anggota. Hak selaku lembaga
tersebut adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.
Sementara itu, selaku perseorangan, setiap anggota DPRD Provinsi memiliki hak
mengajukan rancangan peraturan daerah (perda), hak mengajukan pertanyaan, hak
menyampaikan usul dan pendapat, hak memilih dan dipilih, hak membela diri, hak
imunitas, hak protokoler, dan hak keuangan/administratif.
Selain hak,
kewajiban anggota DPRD Provinsi adalah sama dengan kewajiban anggota DPR. Hanya
saja, lingkup penerapannya ada di Provinsi. Keputusan peresmian jabatan seorang
anggota DPRD Provinsi diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.
DPRD Kabupaten atau Kota
Peresmian keanggotaan DPRD Kabupaten atau Kota
dilakukan melalui Keputusan Gubernur. Jumlah anggota DPRD Kabupaten atau Kota
sekurang-kurangnya adalah 20 dan sebanyak-banyaknya 45 orang. Setiap anggota
DPRD Kabupaten atau Kota harus berdomisili di Kabupaten atau Kota tersebut.
Untuk hak, kewajiban, dan kewenangan lainnya adalah mirip dengan DPRD Provinsi.
Hanya saja, diterapkan di lingkup Kabupaten atau Kota dengan mitra kerjanya
yaitu Bupati atau Walikota.
Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut
DPD) adalah struktur legislatif yang relatif baru dalam sistem politik
Indonesia. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, dan
jumlah anggota DPD di setiap provinsi adalah sama. Namun, Undang-undang Dasar
1945 mengatur bahwa jumlah total anggota DPD ini tidak boleh melebihi 1/3
(sepertiga) jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam setahun.
Fungsi DPD
adalah mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain mengajukan
rancangan undang-undang dalam konteks yang telah disebut, DPD juga ikut serta
dalam membahas rancangan undang-undang yang mereka ajukan ke DPR. Juga, DPD
dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
Sehubungan dengan fungsi di atas – mengusulkan, ikut
membahas, dan memberikan pertimbangan – DPD juga punya hak untuk mengawasi pelaksanaan
setiap undang-undang berkait masalah di atas. Namun, sebagai hasil pengawasan,
DPD tidak dapat bertindak langsung oleh sebab mereka harus menyampaikan
terlebih dahulu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dalam konteks pembuatan undang-undang, DPD amat bergantung kepada DPR.
Anggota DPD dipilih melalui pemilu di setiap provinsi.
Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama (misalnya 4 orang) dan
total seluruh anggota DPD tidak boleh melebihi dari 1/3 (sepertiga) jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam satu tahun.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR. RUU tersebut harus berlingkup pada konteks
otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya daerah, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD juga ikut serta dengan DPR membahas RUU yang sudah
disebut di atas. Selain itu, DPD juga dapat memberi pertimbangan kepada DPR
seputar RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta RUU yang
berkaitan dengan masalah pajak, pendidikan, dan agama. DPD dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sehubungan dengan hal telah disebut.
Hasil dari pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan untuk
ditindaklanjuti. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa awalnya DPD dimaksudkan
sebagai kamar kedua (second chamber, bicameral) Indonesia. Namun, ketentuan
kamar kedua harus memenuhi persyaratan bikameralisme: Kedua kamar sama-sama
punya otoritas menjalankan fungsi legislatif. DPD sama sekali tidak punya
kekuasaan legislatif. Pasal 22D UUD 1945 menyiratkan tidak ada satupun
kekuasaan DPD untuk membuat UU, meskipun berhubungan dengan masalah daerah.
Selain itu, persyaratan menjadi anggota DPD terkesan
lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Misalnya, total seluruh anggota DPD
tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR. Selain itu, jumlah mereka haruslah sama
di tiap provinsi tanpa memandang besar kecilnya jumlah penduduk di provinsi
tersebut. Bandingkan dengan anggota DPR yang kursinya diproporsikan menurut
jumlah penduduk. Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kursi
perwakilannya. Sehubungan beratnya syarat anggota DPD ini, contoh dapat diambil
di Jawa Timur dalam Pemilu 2009. Total anggota DPD dari provinsi tersebut
adalah 4 orang. Satu kursi DPD sebab itu membutuhkan suara 5.500.000 pemilih.
Sementara untuk anggota DPR, cuma membutuhkan angka 550.000: Bandingkan antara
angka 5.500.000 dengan 550.000.
Maswardi Rauf menyatakan, posisi DPD adalah sekadar
partner DPR. DPD yang dipilih langsung oleh rakyat seperti DPR, ternyata tidak
memiliki kewenangan yang sama seperti DPR dalam membuat legislasi. Rauf
melanjutkan, ketentuan konstitusi ini akibat munculnya beberapa pandangan.
Pertama, anggota DPR sesungguhnya telah mencerminkan kepentingan daerah-daerah
yang ada di Indonesia. Kedua, kecilnya peran DPD akibat muncul kekhawatiran
terjadinya konflik antara DPR dengan DPD dalam proses pembuatan UU yang sulit
dicari jalan keluarnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Referensi
1. Jimly Asshiddiqie, Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi, Bahan
Seminar Membangun Masyarakat Sadar Konstitusi, 8 Juli 2008, (Jakarta: DPP
Partai Golkar, 2008), h. 4-5.
2.
www.transparansi.or.id. Istilah-istilah Representatives Bodies, Governing
Bodies, Support Bodies, Election Body, Monetary Body, Auditing Body, dan
Independent Body yang kemudian digunakan diinspirasikan dari sumber ini.
3.
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan
Keempat UUD tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII,
(Denpasar: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 14-18 Juli 2003)
h.17.
4.
Undang-undang Dasar 1945, amandemen 4, Pasal 2 dan 3.
5. ibid., h. 15-7.
6.
Maswardi Rauf, Perkembangan UU Bidang Politik Pasca Amandemen UUD 1945,
(Pembanding Tulisan makalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie.SH berjudul Struktur
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 yang
disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar, Bali, pada
tanggal l4-18 Juli 2003.) h.5.
7.
ibid.
8.
www.mpr.go.id
9.
ibid. Mengenai komposisi MPR selanjutnya mengacu pada sumber ini, jika
tidak diseling footnote lain.
10.
www.mpr.go.id
11. Undang-undang Dasar 1945 ..., op.cit., khususnya Pasal 19, 20, dan
20A.